Asy-Syaikh Al-Hafizh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan
Bab 1 Asal-Usul Dinamakan Bulan
Sya’ban
Sepatutnya setiap
muslim mengetahui jumlah dan nama-nama bulan dalam Islam, dari bulan Muharram
sampai dengan bulan Dzulhijjah. Alhamdulillah, sebagian mereka telah
mengetahui bahwa bulan Ramadhan itu berada di urutan kesembilan dalam bulan
Islam dan Sya’ban bulan kedelapan. Oleh sebab itu, sebelum kita memasuki
gerbang bulan Ramadhan, kita mesti melewati dan menjalani bulan Sya’ban ini
terlebih dahulu.
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau, “As-Sakhowiy rahimahullah
mengatakan bahwa Sya’ban berasal dari berpencar atau berpisahnya para kabilah
Arab untuk berperang, mereka lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan.”
(Tafsir al-Qur’an al-Azhim: II/ 432, Cetakan Dar al-Fikr tahun1412H/ 1992M)
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqolaniy rahimahullah berkata, “Bulan Sya’ban disebut Sya’ban karena pada
bulan tersebut para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air atau untuk
melakukan penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar dari bulan
Rajab (yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan untuk
berperang inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama (untuk
mencari air).” (Fat-h al-Bariy: IV/ 213).
Bab II Fungsi Sya'ban Sebagai Pintu Gerbang Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan
penuh ampunan dari Allah ta’ala dan keberkahan, bagi orang yang dapat
memanfaatkan bulan itu untuk mengerjakan berbagai jenis ibadah yang
disyariatkan. Karena di bulan itulah alqur’an diturunkan, diwajibkan berpuasa
selama sebulan penuh, dianjurkan untuk giat bersedekah karena Rosulullah
Shallalahu alaihi wa sallam pada bulan itu lebih dermawan daripada di
bulan-bulan lainnya, ditegakkan sholat tarawih berjamaah, dianjurkan untuk
membaca alqur’an, mentadarusi dan mentadabburinya, ifthar jama’iy (buka puasa
bersama), dan lain sebagainya.
Dari Abu Hurairah
radliyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa
di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka
akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu,” [HR al-Bukhoriy: 1901, 2014,
Muslim: 760, Ibnu Majah: 1641, 1326 dan at-Turmudziy: 683. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. (Shahih Sunan Ibnu Majah: 1091, 1330, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 550, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 982).
Berkata asy-Syaikh Salim bin
Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan keutamaan bulan Ramadhan dan
ketinggian kedudukannya. Bahwasanya bulan itu adalah bulan (diwajibkannya)
berpuasa. Maka barangsiapa yang berpuasa (pada bulan itu) maka akan diampuni
kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya meskipun sebanyak buih lautan,” (Bahjah
an-Nazhirin: II/ 362).
Berkata asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Apabila seseorang berpuasa lantaran iman
kepada Allah dan dalam rangka mencari pahala Allah, maka Allah ta’ala akan
mengampuni dosanya yang telah lalu,” (Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 486.)
Maka untuk mencapai ampunan
yang Allah Subhanahu wa ta’ala janjikan maka diperlukan kesungguhan, persiapan
dan latihan terlebih dahulu di bulan Sya’ban. Oleh karena itu Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam telah mencontohkan dengan banyak melakukan ibadah
puasa di bulan Sya’ban sebagai persiapan dan latihan untuk memasuki bulan
Ramadhan.
Dan bulan Sya’ban ibaratnya
adalah pintu gerbang yang mesti dilalui oleh setiap muslim dalam keadaan telah
siap menunaikan berbagai anjuran yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa
dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Dahulu beliau berpuasa
pada bulan Sya’ban seluruhnya.” [HR al-Bukhoriy: 1970, Muslim: 1156 (176) dan
at-Turmudziy: 736, 737]. (Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 966 dan Shahih
Sunan at-Turmudziy: 588, 589.).
Berkata asy-Syaikh Salim bin
Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat dalil akan keutamaan berpuasa pada
bulan Sya’ban. Puasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam itu boleh diteladani
oleh orang yang mampu (berpuasa) selama ia sanggup, adapun orang dikhawatirkan
payah atau puasanya itu berpengaruh (buruk) pada bulan Ramadhan maka
dimakruhkan untuk berpuasa baginya setelah pertengahan bulan Sya’ban,” (Bahjah
an-Nazhirin: II/ 381.)
Oleh karena itu, tanpa
persiapan yang matang sebelumnya, seseorang bisa jadi akan melewatkan bulan
Ramadhan sebagaimana bulan-bulan lainnya tanpa faidah, tanpa nilai dan tanpa
mashlahat sedikitpun apalagi jika dosa-dosanyapun tersebut tidak diampuni.
Bab III Kejadian dan Peristiwa di Bulan Sya'ban
Sya’ban adalah salah satu
bulan yang mulia. Bulan ini adalah pintu menuju bulan Ramadhan. Siapa yang
berupaya membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan ini, ia
akan akan menuai kesuksesan di bulan Ramadhan.
Dinamakan Sya’ban, karena
pada bulan itu terpancar bercabang-cabang kebaikan yang banyak (yatasya’abu
minhu khairun katsir). Menurut pendapat lain, Sya’ban berasal dari kata Syi’b,
yaitu jalan di sebuah gunung atau jalan kebaikan. Dalam bulan ini terdapat
banyak kejadian dan peristiwa yang patut memperoleh perhatian dari kalangan
kaum muslimin.
1. Pindah Qiblat
Pada bulan Sya’ban, Qiblat
berpindah dari Baitul Maqdis, Palistina ke Ka’bah, Mekah al Mukarromah. Nabi
Muhammad Shollallahu alaihi wasallam menanti-nanti datangnya peristiwa ini
dengan harapan yang sangat tinggi. Setiap hari Beliau tidak lupa menengadahkan
wajahnya ke langit, menanti datangnya wahyu dari Rabbnya. Sampai akhirnya Allah
Subhanahu Wata’ala mengabulkan penantiannya. Wahyu Allah Subhanahu Wata’ala
turun. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya.” (QS. Al Baqarah; 144)
2. Diangkatnya Amal Manusia
Salah satu keistimewaan
bulan Sya’ban adalah diangkatnya amal-amal manusia pada bulan ini ke langit.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya
Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari
bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda:
“Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan
merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin.
Dan saya menyukai amal saya diangkat, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.”
(HR. Nasa’i).
3. Keutamaan Puasa di Bulan
Sya’ban
Rasulullah ditanya oleh
seorang sahabat, “Adakah puasa yang paling utama setelah Ramadhan?” Rasulullah
Shollallahu alai wasallam menjawab, “Puasa bulan Sya’ban karena berkat
keagungan bulan Ramadhan.”Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau
tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak
pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu
bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa
lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Sepintas dari teks Hadits di
atas, puasa bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan
bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) lainnya. Padahal Abu Hurairah telah
menceritakan sabda dari Rasulullah Shollallu alaihi wasallam, “Puasa yang
paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan mulia (asyhurul
hurum).” Menurut Imam Nawawi, hal ini terjadi karena keutamaan puasa pada
bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) itu baru diketahui oleh Rasulullah di akhir
hayatnya sebelum sempat beliau menjalaninya, atau pada saat itu beliau dalam
keadaan udzur (tidak bisa melaksanakannya) karena bepergian atau sakit.
Sesungguhnya Rasulullah
Shollallu alaihi wasallam mengkhususkan bulan Sya’ban dengan puasa itu adalah
untuk mengagungkan bulan Ramadhan. Menjalankan puasa bulan Sya’ban itu tak
ubahnya seperti menjalankan sholat sunat rawatib sebelum sholat maktubah. Jadi
dengan demikian, puasa Sya’ban adalah sebagai media berlatih sebelum
menjalankan puasa Ramadhan.
Adapun berpuasa hanya pada
separuh kedua bulan Sya’ban itu tidak diperkenankan, kecuali:
1. Menyambungkan puasa
separuh kedua bulan Sya’ban dengan separuh pertama.
2. Sudah menjadi kebiasaan.
3. Puasa qodlo.
4. Menjalankan nadzar.
5. Tidak melemahkan semangat
puasa bulan Ramadhan.
4. Turun Ayat Sholawat Nabi
Salah satu keutamaan bulan
Sya’ban adalah diturunkannya ayat tentang anjuran membaca sholawat kepada Nabi
Muhammad Shollallu alaihi wasallam pada bulan ini, yaitu ayat: “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” (QS. Al Ahzab;56)
5. Sya’ban, Bulan Al Quran
Bulan Sya’ban dinamakan juga
bulan Al Quran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa atsar. Memang membaca Al
Quran selalu dianjurkan di setiap saat dan di mana pun tempatnya, namun ada
saat-saat tertentu pembacaan Al Quran itu lebih dianjurkan seperti di bulan
Ramadhan dan Sya’ban, atau di tempat-tempat khusus seperti Mekah, Roudloh dan
lain sebagainya.
Syeh Ibn Rajab al Hambali
meriwayatkan dari Anas, “Kaum muslimin ketika memasuki bulan Sya’ban, mereka
menekuni pembacaan ayat-ayat Al Quran dan mengeluarkan zakat untuk membantu
orang-orang yang lemah dan miskin agar mereka bisa menjalankan ibadah puasa
Ramadhan.
6. Malam Nishfu Sya’ban
Pada bulan Sya’ban terdapat
malam yang mulia dan penuh berkah yaitu malam Nishfu Sya’ban. Di malam ini
Allah Subhanahu wata’ala mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi
orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa,
menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari
api neraka, dan mencatat bagian rizki dan amal manusia.
Banyak Hadits yang
menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada
yang dlo’if (lemah), namun Al Hafidh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan
sebagian Hadits tersebut, di antaranya adalah: “Nabi Muhammad Shollallhu alaihi
wasallam bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu
Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang yang musyrik dan orang
yang bermusuhan.” (HR. Thabarani dan Ibnu Hibban).
Bab IV Nama-Nama Bulan Sya'ban
Para ulama menamai malam
Nishfu Sya’ban dengan beragam nama. Banyaknya nama-nama ini mengindikasikan
kemuliaan malam tersebut.
1. Lailatul Mubarokah (malam
yang penuh berkah).
2. Lailatul Qismah (malam
pembagian rizki).
3. Lailatut Takfir (malam
peleburan dosa).
4. Lailatul Ijabah (malam
dikabulkannya doa)
5. Lailatul Hayah walailatu
‘Idil Malaikah (malam hari rayanya malaikat).
6. Lalilatus Syafa’ah (malam
syafa’at)
7. Lailatul Baro’ah (malam
pembebasan). Dan masih banyak nama-nama yang lain.
Bab V Pro dan Kontra Seputar
Nishfu Sya’ban
Al Hafidh Ibn Rojab al
Hambali dalam kitab al Lathoif mengatakan, “Kebanyakan ulama Hadits menilai bahwa
Hadits-Hadits yang berbicara tentang malam Nishfu Sya’ban masuk kategori Hadits
dlo’if (lemah), namun Ibn Hibban menilai sebagaian Hadits itu shohih, dan
beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.” Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab
Addurrul Mandlud mengatakan, “Para ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama-ulama
lainnya, sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap
diperbolehkannya menggunakan Hadits dlo’if untuk keutamaan amal (fadlo’ilul
amal), bukan untuk menentukan hukum, selama Hadits-Hadits itu tidak terlalu
dlo’if (sangat lemah).”Jadi, meski Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan
malam Nishfu Sya’ban disebut dlo’if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan
dasar untuk menghidupkan amalam di malam Nishfu Sya’ban.
Kebanyakan ulama yang tidak
sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu karena mereka menganggap
serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah, tidak ada tuntunan
dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sedangkan pengertian bid’ah
secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika
demikian secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid’ah sayyi’ah
madzmumah). Namun ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk
sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah wafat yang terkandung pada
persoalan yang umum yang secara syar’i dikategorikan baik dan terpuji (hasanah
mamduhah).
Imam Ghozali dalam kitab
Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan, “Tidak semua hal yang baru datang
setelah Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam itu dilarang. Tetapi yang
dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi (bid’ah) yang bertentangan
dengan sunnah.” Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah
(bid’ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah
latar belakangnya.”
Imam Al Hafidh Ibn Hajjar
berkata dalam Fathul Barri, “Sesungguhnya bid’ah itu jika dianggap baik menurut
syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh syara’
dikategorikan tercela maka ia adalah bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan
menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam
bahwa bid’ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.
Syeh Ibnu Taimiyah berkata,
“Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu
Sya’ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam
tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan
sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama
salaf dulu, dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan
sholat pada malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu
berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah.
Walhasil, sesungguhnya
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah itu hukumnya sunnah
(mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun ragam ibadah
pada malam itu dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya
secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih, membaca
sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau mendengarkan
Hadits, dan lain-lain.
Bab VI Tuntunan Nabi di Malam
Nisyfi Sya’ban
Rasulullah telah
memerintahkan untuk memperhatikan malam Nisyfi Sya’ban, dan bobot berkahnya
beramal sholeh pada malam itu diceritakan oleh Sayyidina Ali Rodliallahu anhu,
Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika tiba malam Nisyfi
Sya’ban, maka bersholatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya
karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menurunkan rahmatnya pada malam
itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman,
‘Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta
rizki, maka akan Aku beri rizki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan
Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.’” (HR. Ibnu
Majah)
Malam Nishfu Sya’ban atau
bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang tepat bagi seorang
muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu adalah saat yang
utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim memperbanyak aneka ragam
amal kebaikan. Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci keberhasilan, maka
sungguh tepat bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya dengan berdoa
kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam
mengatakan, “Doa adalah senjatanya seorang mukmin, tiyangnya agama dan
cahayanya langit dan bumi.” (HR. Hakim).
Nabi Muhammad Shollallahu
alaihi wasallam juga mengatakan, “Seorang muslim yang berdoa -selama tidak
berupa sesuatu yang berdosa dan memutus famili-, niscaya Allah Subhanahu
wata’ala menganugrahkan salah satu dari ketiga hal, pertama, Allah akan
mengabulkan doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan mengabulkan doanya di
akhirat kelak. Ketiga, Allah akan menghindarkannya dari kejelekan lain yang
serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad dan Barraz).
Tidak ada tuntunan langsung
dari Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tentang doa yang khusus dibaca pada
malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk tentang jumlah bilangan
sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan
beribadah yang lain sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang
telah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai
balasannya.
Adapun kebiasaan yang
berlaku di masyarakat, yaitu membaca Surah Yasin tiga kali, dengan berbagai
tujuan, yang pertama dengan tujuan memperoleh umur panjang dan diberi
pertolongan dapat selalu taat kepada Allah. Kedua, bertujuan mendapat
perlindungan dari mara bahaya dan memperoleh keluasaan rikzi. Dan ketiga,
memperoleh khusnul khatimah (mati dalam keadaan iman), itu juga tidak ada yang
melarang, meskipun ada beberapa kelompok yang memandang hal ini sebagai langkah
yang salah dan batil.
Dalam hal ini yang patut
mendapat perhatian kita adalah beredarnya tuntunan-tuntunan Nabi tentang sholat
di malam Nishfu sya’ban yang sejatinya semua itu tidak berasal dari beliau.
Tidak berdasar dan bohong belaka. Salah satunya adalah sebuah riwayat dari
Sayyidina Ali, “Bahwa saya melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya’ban
melakukan sholat empat belas rekaat, setelahnya membaca Surat Al Fatihah (14
x), Surah Al Ikhlas (14 x), Surah Al Falaq (14 x), Surah Annas (14 x), ayat
Kursi (1 x), dan satu ayat terkhir Surat At Taubah (1 x). Setelahnya saya
bertanya kepada Baginda Nabi tentang apa yang dikerjakannya, Beliau menjawab,
“Barang siapa yang melakukan apa yang telah kamu saksikan tadi, maka dia akan
mendapatkan pahala 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun, dan jika pada saat itu
dia berpuasa, maka ia seperti berpuasa dua tahun, satu tahun yang lalu dan
setahun yang akan datang.” Dan masih banyak lagi hadits palsu lainnya yang
beredar di tengah-tengah kaum muslimin. (Disarikan dari “Madza fi Sya’ban”,
karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Muhadditsul Haromain).
Bab VII Cara Menghitung Jumlah Hari Bulan Sya'ban
Umat Islam seyogyanya
menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan
itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka
berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan
hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Karena Allah Swt.
menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar
manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari
tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat
hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh
hari.” (Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim 1081).
Dari Abdullah bin Umar
Radhiyallahu ‘anhuma, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian
berbuka hingga melihatnya (hilal). Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan
Sya’ban.” (Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim 1080).
Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya: Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari, kecuali kalian
melihat hilal sebelum hari ke tiga puluh.” (Hadits Riwayat At-Thahawi dalam
Musykilul Atsar No. 501, Ahmad 4/377, At-Thabrani dalam Al-Kabir 17/171. Dalam
sanadnya ada Musalin bin Sa’id, beliau dhaif sebagaiamana dikatakan oleh
Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid 3/146, akan tetapi hadits ini mempunyai
banyak syawahid, lihat Al-Irwaul Ghalil 901, karya Syaikhuna Al-Albany
Hafidhahullah).
Ketiga hadits ini
menyebutkan bahwa jumlah setiap bulan hijriyah itu antara dua puluh sembilan
hari sampai tiga puluh hari, tidak lebih. Dan Rasulullah Saw. telah memesankan
kepada kita umat Muslim untuk memperhatikan hilal, jika hilal sudah terlihat
maka laksanakanlah shaum tapi jika langit terhalangi awan dan menyebabkan hilal
tidak terlihat maka sempurnakanlah jumlah harinya menjadi tiga puluh hari.